Legenda Dewi Kerindangan, Dewi Sri Versi Jawa Tengah | TradisiKita - Lain di Jawa Barat, lain juga di Jawa Tengah. Sebuah legenda atau dongeng serta mitos mengenai Dewi Sri. Di Jawa Tengah pun ada kisah mengenai seorang Dewi Kerindangan yang berjulukan Dewi Sri.
Dewi Sri ialah seorang putri dari seorang raja yang berjulukan Prabu Mahapunggung. Oleh masyarakat petani di Jawa Tengah, Dewi Sri dipercaya sebagai lambang kemakmuran dan kerindangan. Dewi Sri diyakini sebagai sosok suci yang mengatur kesejahteraan insan di bumi. Bagaimanakah kisah perihal Dewi Sri yang sangat dihormati sebagai ibu kehidupan itu? Jawabannya sanggup Anda temukan dalam kisah Dewi Sri, Dewi Kerindangan diberikut ini!
Dahulu, di sebuah daerah di Jawa tengah, tersebutlah seorang raja berjulukan Prabu Sri Mahapunggung atau Bathara Srigati yang bertahta di sebuah kerajaan berjulukan Kerajaan Medang Kamulan. Bathara Srigati ialah putra Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri Sekar atau Bathari Sri Widowati yang diutus ke bumi untuk menjaga kelestarian dunia.
Prabu Sri Mahapunggung mempunyai seorang putri berjulukan Dewi Sri. Ia ialah putri sulung sang Prabu yang diyakini sebagai titisan neneknya, Bathari Sri Widowati. Selain elok dan rupawan, Dewi Sri ialah seorang putri yang cerdas, baik hati, lemah lembut, sabar, halus tutur katanya, luhur kecerdikan bahasanya, dan bijaksana. Dewi Sri mempunyai tiga adik kandung yaitu Sadana, Wandu, dan Oya. Ia bersama adiknya, Sadana, dikenal sebagai lambang kemakmuran hasil bumi. Dewi Sri sebagai dewi padi, sedangkan Sadana sebagai tuhan hasil bumi lainnya ibarat umbi-umbian, kentang, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh lantaran itu, keduanya tidak pernah dipisahkan.
Suatu kadab, Sadana diminta oleh ayah dan ibunya untuk berkeluargai seorang putri berjulukan Dewi Panitra, cucu Eyang Pancareshi. Namun, Sadana menolak lantaran tidak ingin menlampaui kakaknya dengan alasan bahwa hal itu kerap menjadi penyebab terjadinya banyak sekali kesusahan di kemudian hari. Melihat perilaku putranya itu, Prabu Sri Mahapunggung berupaya membujuknya.
“Sadana, Putraku. Jika kau berkeluarga dengan Dewi Panitra, Ayah akan menobatkanmu menjadi Putra Mahkota. Kamulah yang akan menggantikan Ayah menjadi raja negeri ini,” bujuk sang Prabu.
Sadana hanya terdiam. Hatinya sedang gundah gulana.
“Sudahlah, Putraku. Kamu tidak usah memikirkan kakakmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk berkeluargakannya bila kelak menemukan jodohnya,” ujar sang Prabu.
Meskipun berkali-kali dibujuk, Sadana tetap bersikukuh menolak ijab kabul tersebut.
“Maafkan Sadana, Ayahanda Prabu. Tidak sepantasnya seorang adik menlampaui kakaknya berkeluarga,” kata Sadana.
Rupanya, perkataan Sadana itu menciptakan murka ayahandanya. Ia dianggap sudah berani bersikap lancang lantaran tidak patuh pada masukan orang tua. Untung sang Ibu berhasil meredam kemarahan ayah Sadana.
Pada malam harinya, Sadana susah memejamkan mata. Pikirannya sangat kacau, sedih, dan bingung. Baginya, perjodohan itu bertentangan dengan perinsip hidupnya. Setelah memikirkan segala resikonya, alhasil malam itu Sadana pergi meninggalkan istana secara diam-diam. Alangkah murkanya sang Prabu ketika mengetahui hal itu. Kemarahannya pun ia lampiaskan kepada Dewi Sri lantaran dianggap sebagai penyebab minggatnya Sadana. Tuduhan itu menciptakan murung hati sang Putri. Karena merasa serba salah hidup di istana, alhasil ia pun ikut kabur dari istana.
Perginya Dewi Seri dari istana menciptakan Prabu Sri Mahapunggung semakin murka. Saking marahnya, sang Prabu mengutuk Dewi Sri menjadi ular sawah, sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti. Dewi Sri berjalan ke arah timur tanpa tujuan yang pasti, sedangkan Sadana terbang tanpa arah dan tujuan.
Suatu kadab, ular sawah penjelmaan Dewi Sri datang di Dusun Wasutira. Karena lelah, ular sawah itu kemudian tidur melingkar di lumbung padi milik seorang penduduk berjulukan Kyai Brikhu. Petani itu mempunyai seorang istri berjulukan Ken Sanggi yang sedang mengandung bayi pertama mereka. Pada malam harinya, Kyai Brikhu bermimpi menerima petunjuk bahwa bayi yang dikandung istrinya ialah titisan Dewi Tiksnawati. Kelak sehabis lahir, bayi itu akan dijaga oleh sebuntut ular sawah. Jika ular sawah itu mati, maka bayinya pun akan mati.
“Oh, alangkah bahagianya hidupku bila mimpi itu kelak menjadi kenyataan. Aku pun berjanji akan menjaga dan merawat ular sawah itu,” gumam Kyai Brikhu dengan perasaan gembira.
Hari itu, persediaan beras Kyai Brikhu untuk dimasak oleh istrinya telah habis. Kadab hendak mengambil padi di lumbungnya, ia dikejutkan oleh sebuntut ular sawah yang melingkar di atas tumpukan padinya. Petani itu pun pribadi teringat pada mimpinya.
“Mungkin ular inilah yang menjaga anakku kelak,” gumamnya.
Kyai Brikhu pun alhasil merawat ular sawah itu dengan baik. Kadab istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan, ia kemudian meletakkan ular sawah itu di akrab bayinya yang berada di kamar tengah di rumahnya. Sejak itulah, Kyai Brikhu bersama sang Istri merawat anak mereka bersama ular sawah itu dengan hati-hati. Setiap hari, mereka memdiberi makan ular itu dengan katak.
Suatu malam, Kyai Brikhu kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ular sawah itu menolak didiberi makan katak. Ular itu minta didiberi sesajen berupa sedah ayu, yakni sirih beserta perkomplitannya, bunga, dan lampu yang harus selalu dinyalakan. Kadab terbangun, Kyai Brikhu pun pribadi menyiapkan sesaji sebagaimana usul ular sawah itu.
Sementara itu, Dewi Tiksnawati yang menitis pada badan anak Kyai Brikhu menciptakan huru-hara di kediaman para dewa. Hal itu menciptakan Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru murka.
“Wahai, para dewa! Pergilah ke bumi, diberi tragedi alam pada bayi daerah Dewi Tiksnawati menitis!” titah sang Batara Guru.
Para tuhan pun segera meluncur ke bumi. Namun, perjuangan mereka memdiberi tragedi alam pada bayi itu gagal lantaran imbas tolak bala dari Kyai Brikhu dan ular sawah. Berkali-kali para tuhan itu berupaya melaksanakan hal itu, namun mereka tetap saja gagal. Setelah melaksanakan penyelidikan, para tuhan dan Batara Guru pun mengetahui bahwa kegagalan mereka disebabkan oleh Dewi Sri yang setia melindungi bayi itu.
Atas perintah Batara Guru, para bidadari pun turun ke bumi untuk membujuk Dewi Sri biar mau menjadi bidadari di Kahyangan.
“Wahai, Dewi Sri! Kami diutus oleh Batara Guru untuk memintamu ke Kahyangan. Sang Batara Guru akan menjadikanmu bidadari untuk mekompliti kami para bidadari yang ada di Kahyangan,” bujuk salah satu bidadari.
“Baiklah, para bidadari. Saya bersedia mendapatkan usul Batara Guru, tapi dengan satu syarat,” ujar Dewi Sri.
“Apakah syarat itu, wahai Dewi Sri?” tanya bidadari.
“Saya mohon adik saya, Sadana, yang telah dikutuk menjadi burung sriti biar dikembalikan wujudnya menjadi manusia,” pinta Dewi Sri.
Para bidadari pun menyanggupi usul Dewi Seri. Namun, kadab mereka hendak memenuhi usul tersebut, ternyata Sadana telah dikembalikan menjadi insan oleh sosok yang sakti, yaitu Bagawan Brahmana Marhaesi, putra Sang Hyang Brahma. Bahkan, Sadana telah dinikahkan dengan seorang putri berjulukan Dewi Laksmitawahni. Kelak bila mereka telah mempunyai putra, Sadana akan diangkat menjadi dewa.
Berita perihal Sadana kemudian disampaikan kepada Dewi Sri. Dewi Sri pun menyambutnya dengan perasaan senang. Karena keinginannya telah terkabulkan, alhasil Dewi Sri yang berwujud ular sawah itu dikembalikan ke wujud aslinya oleh para bidadari ke wujud aslinya, yakni seorang gadis yang elok jelita.
Sementara itu, Kyai Brikhu amat terkejut lantaran ular sawah di petanen-nya telah lenyap. Yang dilihatnya hanya seorang gadis elok yang sedang duduk di samping bayinya.
“Hai, anak gadis. Kamu siapa dan kenapa berada di sini?” tanya Khai Brikhu heran.
Dewi Sri pun memperkenalkan dirinya kemudian menceritakan peristiwa yang gres saja terjadi di rumah itu. Akhirnya, Kyai Brikhu pun tahu bahwa Dewi Sri ialah putri Prabu Mahapunggung dari Kerajaan Medang Kamulan. Sesuai dengan janjinya, Dewi Sri pun akan segera ke Kahyangan untuk dijadikan bidadari. Sebelum pergi, Dewi Sri tidak lupa berterima kasih dan berpesan kepada Kyai Brikhu.
“Terima kasih, Kyai Brikhu atas segala bantuannya selama saya tinggal di rumah ini,” ucap Dewi Sri, “Agar sandang dan pangan keluargamu selalu tercukupi, jangan lupa untuk memdiberi memdiberikan sesajen di ruang tengah rumahmu.”
Usai berpesan, Dewi Sri pun moksa dan kemudian menuju ke Kahyangan. Sepeninggal Dewi Sri, Kyai Brikhu pun pribadi menyediakan sesajen di ruang tengah rumahnya. Sejak itulah, orang Jawa selalu menyimpan atau memajang gambar ular di kamar tengah rumah mereka sebagai perlambangan sosok Dewi Sri yang telah memdiberikan kemakmuran dan kerindangan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, orang juga percaya bahwa bila ada ular masuk ke dalam rumah, itu berarti membuktikan sawahnya akan memdiberikan hasil atau rezeki yang baik. Itulah sebabnya, masyarakat petani di Jawa amat menghargai ular sawah dengan cara memdiberinya sesaji.
Dewi Sri ialah seorang putri dari seorang raja yang berjulukan Prabu Mahapunggung. Oleh masyarakat petani di Jawa Tengah, Dewi Sri dipercaya sebagai lambang kemakmuran dan kerindangan. Dewi Sri diyakini sebagai sosok suci yang mengatur kesejahteraan insan di bumi. Bagaimanakah kisah perihal Dewi Sri yang sangat dihormati sebagai ibu kehidupan itu? Jawabannya sanggup Anda temukan dalam kisah Dewi Sri, Dewi Kerindangan diberikut ini!
Legenda Dewi Kerindangan, Dewi Sri Versi Jawa Tengah
Dahulu, di sebuah daerah di Jawa tengah, tersebutlah seorang raja berjulukan Prabu Sri Mahapunggung atau Bathara Srigati yang bertahta di sebuah kerajaan berjulukan Kerajaan Medang Kamulan. Bathara Srigati ialah putra Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri Sekar atau Bathari Sri Widowati yang diutus ke bumi untuk menjaga kelestarian dunia.
Prabu Sri Mahapunggung mempunyai seorang putri berjulukan Dewi Sri. Ia ialah putri sulung sang Prabu yang diyakini sebagai titisan neneknya, Bathari Sri Widowati. Selain elok dan rupawan, Dewi Sri ialah seorang putri yang cerdas, baik hati, lemah lembut, sabar, halus tutur katanya, luhur kecerdikan bahasanya, dan bijaksana. Dewi Sri mempunyai tiga adik kandung yaitu Sadana, Wandu, dan Oya. Ia bersama adiknya, Sadana, dikenal sebagai lambang kemakmuran hasil bumi. Dewi Sri sebagai dewi padi, sedangkan Sadana sebagai tuhan hasil bumi lainnya ibarat umbi-umbian, kentang, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh lantaran itu, keduanya tidak pernah dipisahkan.
Suatu kadab, Sadana diminta oleh ayah dan ibunya untuk berkeluargai seorang putri berjulukan Dewi Panitra, cucu Eyang Pancareshi. Namun, Sadana menolak lantaran tidak ingin menlampaui kakaknya dengan alasan bahwa hal itu kerap menjadi penyebab terjadinya banyak sekali kesusahan di kemudian hari. Melihat perilaku putranya itu, Prabu Sri Mahapunggung berupaya membujuknya.
“Sadana, Putraku. Jika kau berkeluarga dengan Dewi Panitra, Ayah akan menobatkanmu menjadi Putra Mahkota. Kamulah yang akan menggantikan Ayah menjadi raja negeri ini,” bujuk sang Prabu.
Sadana hanya terdiam. Hatinya sedang gundah gulana.
“Sudahlah, Putraku. Kamu tidak usah memikirkan kakakmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk berkeluargakannya bila kelak menemukan jodohnya,” ujar sang Prabu.
Meskipun berkali-kali dibujuk, Sadana tetap bersikukuh menolak ijab kabul tersebut.
“Maafkan Sadana, Ayahanda Prabu. Tidak sepantasnya seorang adik menlampaui kakaknya berkeluarga,” kata Sadana.
Rupanya, perkataan Sadana itu menciptakan murka ayahandanya. Ia dianggap sudah berani bersikap lancang lantaran tidak patuh pada masukan orang tua. Untung sang Ibu berhasil meredam kemarahan ayah Sadana.
Pada malam harinya, Sadana susah memejamkan mata. Pikirannya sangat kacau, sedih, dan bingung. Baginya, perjodohan itu bertentangan dengan perinsip hidupnya. Setelah memikirkan segala resikonya, alhasil malam itu Sadana pergi meninggalkan istana secara diam-diam. Alangkah murkanya sang Prabu ketika mengetahui hal itu. Kemarahannya pun ia lampiaskan kepada Dewi Sri lantaran dianggap sebagai penyebab minggatnya Sadana. Tuduhan itu menciptakan murung hati sang Putri. Karena merasa serba salah hidup di istana, alhasil ia pun ikut kabur dari istana.
Perginya Dewi Seri dari istana menciptakan Prabu Sri Mahapunggung semakin murka. Saking marahnya, sang Prabu mengutuk Dewi Sri menjadi ular sawah, sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti. Dewi Sri berjalan ke arah timur tanpa tujuan yang pasti, sedangkan Sadana terbang tanpa arah dan tujuan.
Suatu kadab, ular sawah penjelmaan Dewi Sri datang di Dusun Wasutira. Karena lelah, ular sawah itu kemudian tidur melingkar di lumbung padi milik seorang penduduk berjulukan Kyai Brikhu. Petani itu mempunyai seorang istri berjulukan Ken Sanggi yang sedang mengandung bayi pertama mereka. Pada malam harinya, Kyai Brikhu bermimpi menerima petunjuk bahwa bayi yang dikandung istrinya ialah titisan Dewi Tiksnawati. Kelak sehabis lahir, bayi itu akan dijaga oleh sebuntut ular sawah. Jika ular sawah itu mati, maka bayinya pun akan mati.
“Oh, alangkah bahagianya hidupku bila mimpi itu kelak menjadi kenyataan. Aku pun berjanji akan menjaga dan merawat ular sawah itu,” gumam Kyai Brikhu dengan perasaan gembira.
Hari itu, persediaan beras Kyai Brikhu untuk dimasak oleh istrinya telah habis. Kadab hendak mengambil padi di lumbungnya, ia dikejutkan oleh sebuntut ular sawah yang melingkar di atas tumpukan padinya. Petani itu pun pribadi teringat pada mimpinya.
“Mungkin ular inilah yang menjaga anakku kelak,” gumamnya.
Kyai Brikhu pun alhasil merawat ular sawah itu dengan baik. Kadab istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan, ia kemudian meletakkan ular sawah itu di akrab bayinya yang berada di kamar tengah di rumahnya. Sejak itulah, Kyai Brikhu bersama sang Istri merawat anak mereka bersama ular sawah itu dengan hati-hati. Setiap hari, mereka memdiberi makan ular itu dengan katak.
Suatu malam, Kyai Brikhu kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ular sawah itu menolak didiberi makan katak. Ular itu minta didiberi sesajen berupa sedah ayu, yakni sirih beserta perkomplitannya, bunga, dan lampu yang harus selalu dinyalakan. Kadab terbangun, Kyai Brikhu pun pribadi menyiapkan sesaji sebagaimana usul ular sawah itu.
Sementara itu, Dewi Tiksnawati yang menitis pada badan anak Kyai Brikhu menciptakan huru-hara di kediaman para dewa. Hal itu menciptakan Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru murka.
“Wahai, para dewa! Pergilah ke bumi, diberi tragedi alam pada bayi daerah Dewi Tiksnawati menitis!” titah sang Batara Guru.
Para tuhan pun segera meluncur ke bumi. Namun, perjuangan mereka memdiberi tragedi alam pada bayi itu gagal lantaran imbas tolak bala dari Kyai Brikhu dan ular sawah. Berkali-kali para tuhan itu berupaya melaksanakan hal itu, namun mereka tetap saja gagal. Setelah melaksanakan penyelidikan, para tuhan dan Batara Guru pun mengetahui bahwa kegagalan mereka disebabkan oleh Dewi Sri yang setia melindungi bayi itu.
Atas perintah Batara Guru, para bidadari pun turun ke bumi untuk membujuk Dewi Sri biar mau menjadi bidadari di Kahyangan.
“Wahai, Dewi Sri! Kami diutus oleh Batara Guru untuk memintamu ke Kahyangan. Sang Batara Guru akan menjadikanmu bidadari untuk mekompliti kami para bidadari yang ada di Kahyangan,” bujuk salah satu bidadari.
“Baiklah, para bidadari. Saya bersedia mendapatkan usul Batara Guru, tapi dengan satu syarat,” ujar Dewi Sri.
“Apakah syarat itu, wahai Dewi Sri?” tanya bidadari.
“Saya mohon adik saya, Sadana, yang telah dikutuk menjadi burung sriti biar dikembalikan wujudnya menjadi manusia,” pinta Dewi Sri.
Para bidadari pun menyanggupi usul Dewi Seri. Namun, kadab mereka hendak memenuhi usul tersebut, ternyata Sadana telah dikembalikan menjadi insan oleh sosok yang sakti, yaitu Bagawan Brahmana Marhaesi, putra Sang Hyang Brahma. Bahkan, Sadana telah dinikahkan dengan seorang putri berjulukan Dewi Laksmitawahni. Kelak bila mereka telah mempunyai putra, Sadana akan diangkat menjadi dewa.
Berita perihal Sadana kemudian disampaikan kepada Dewi Sri. Dewi Sri pun menyambutnya dengan perasaan senang. Karena keinginannya telah terkabulkan, alhasil Dewi Sri yang berwujud ular sawah itu dikembalikan ke wujud aslinya oleh para bidadari ke wujud aslinya, yakni seorang gadis yang elok jelita.
Sementara itu, Kyai Brikhu amat terkejut lantaran ular sawah di petanen-nya telah lenyap. Yang dilihatnya hanya seorang gadis elok yang sedang duduk di samping bayinya.
“Hai, anak gadis. Kamu siapa dan kenapa berada di sini?” tanya Khai Brikhu heran.
Dewi Sri pun memperkenalkan dirinya kemudian menceritakan peristiwa yang gres saja terjadi di rumah itu. Akhirnya, Kyai Brikhu pun tahu bahwa Dewi Sri ialah putri Prabu Mahapunggung dari Kerajaan Medang Kamulan. Sesuai dengan janjinya, Dewi Sri pun akan segera ke Kahyangan untuk dijadikan bidadari. Sebelum pergi, Dewi Sri tidak lupa berterima kasih dan berpesan kepada Kyai Brikhu.
“Terima kasih, Kyai Brikhu atas segala bantuannya selama saya tinggal di rumah ini,” ucap Dewi Sri, “Agar sandang dan pangan keluargamu selalu tercukupi, jangan lupa untuk memdiberi memdiberikan sesajen di ruang tengah rumahmu.”
Usai berpesan, Dewi Sri pun moksa dan kemudian menuju ke Kahyangan. Sepeninggal Dewi Sri, Kyai Brikhu pun pribadi menyediakan sesajen di ruang tengah rumahnya. Sejak itulah, orang Jawa selalu menyimpan atau memajang gambar ular di kamar tengah rumah mereka sebagai perlambangan sosok Dewi Sri yang telah memdiberikan kemakmuran dan kerindangan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, orang juga percaya bahwa bila ada ular masuk ke dalam rumah, itu berarti membuktikan sawahnya akan memdiberikan hasil atau rezeki yang baik. Itulah sebabnya, masyarakat petani di Jawa amat menghargai ular sawah dengan cara memdiberinya sesaji.
* * *
Demikian Sobat Tradisi, kisah Legenda Dewi Kerindangan, Dewi Sri Versi Jawa Tengah. Pesan moral yang sanggup dipetik dari kisah di atas ialah bahwa sifat suka memaksakan kehendak ibarat Prabu Mahapunggung akan mengakibatkan tragedi alam bagi diri dan keluarganya, yaitu minggatnya Raden Sadana dan Dewi Sri dari istana. Sumber Cerita : http://ceritarakyatnusantara.com
Advertisement