Degung, Pengertian, Sejarah dan Perkembangannya | TradisiKita - Sobat Tradisi, Bangsa Indonesia merupakan Bangsa yang kaya akan kebudayaannya. Di Jawa Barat, masyarakat Sunda mengenal bermacam-macam kebudayaan dan kesenian. Dalam dunia seni musik, dikenal istilah degung dalam masyarakat Sunda.
Dalam kesempatan ini kita akan mengenal Degung, yang merupakan bentuk kesenian tradisi yang telah diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kini kesenian degung tetap eksis dan bisa dipertahankan dari desakan kesenian mancanegara yang gencar dimasukan dalam kehidupan kawula muda Indonesia.
Sebagai wujud atau bentuk kecintaan masyarakat Sunda khususnya dan generasi muda Indonesia pada umumnya pada kesenian tempat atau kesenian orisinil Indonesia, pada kesempatan ini mari kita mengenal salah satu kesenian orisinil masyarakat Jawa Barat yang dikenal dengan nama Degung.
Degung adalah sekumpulan alat musik yang dimainkan oleh masyarakat Sunda.Dalam kesempatan ini kita akan mengenal Degung, yang merupakan bentuk kesenian tradisi yang telah diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hingga kini kesenian degung tetap eksis dan bisa dipertahankan dari desakan kesenian mancanegara yang gencar dimasukan dalam kehidupan kawula muda Indonesia.
Sebagai wujud atau bentuk kecintaan masyarakat Sunda khususnya dan generasi muda Indonesia pada umumnya pada kesenian tempat atau kesenian orisinil Indonesia, pada kesempatan ini mari kita mengenal salah satu kesenian orisinil masyarakat Jawa Barat yang dikenal dengan nama Degung.
Pengertian Degung
Dalam persepsi masyarakat Sunda, bisa disimpulkan bahwa ada dua pengertian perihal istilah degung ini, yaitu :
- Degung sebagai nama perangkat gamelan
- Degung sebagai nama laras potongan dari laras salendro ( menurut teori Raden Machjar Angga Koesoemadinata).
(na), dan 4 (ti).
Degung, Pengertian, Sejarah dan Perkembangannya |
Asal Kata Degung
Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menandakan bahwa hasilnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (mampu Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mhebat dan luar biasaungan/Kobongan/Mataraman)Ada pendapat lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, ibarat dimaklumi bahwa Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu, contohnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma ialah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (memberikanbadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menandakan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat contohnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memmemberikankan citra kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.
Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung dimemberikan rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya ciptaan-ciptaan dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung ibarat kini ini.
Sejarah Degung
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan orisinil hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar selesai kurun ke-18/awal kurun ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, mempunyai efek tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kudang kecepeasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang menyampaikan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; darah biru), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat darah biru. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup bau tanah selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) ialah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).
Perkembangan Degung
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung menggunakan nyanyian (vokal) alasannya ialah membuat suasana kurang serius (rucah). Knorma dan sopan santun bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang berjulukan Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam program hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sobat bupati tersebut. Oleh alasannya ialah itu dia mengajukan permohonan kepada bupati supaya diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai ketika itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung gres yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, contohnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung digunakan untuk illustrasi film kisah pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya ialah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi sehabis itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka membuat pula lagu-lagu gres dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan program berita memberikanta bahasa Sunda, sehingga sanggup meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, ibarat dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung perempuan dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mhebat dan luar biasaakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) metidak ada yang kurangi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Ketidak ada yang kurangan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wimampuna. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sanggup didengarkan degung yang menggunakan waditra perhiasan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, contohnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya ibarat tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya ludang kecepeh tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah digunakan untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wimampuna.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, contohnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat terkenal semenjak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting ialah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kudang kecepeasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini ludang kecepeh terkenal lagi sehabis direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) di mana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung kini (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik laki-laki maupun wanita. Juru kawih degung yang terkenal dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan gres yang digarap dengan menggunakan contoh lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
Nama Wanditra / Alat Musik Degung
Wanditra dikenal juga sebagai instrumen alat musik. Adapun degung terdiri dari beberapa alat musik tradisional Jawa Barat yang sudah kita kenal. Adapun wanditra penyusun sebuah degung ialah sebagai memberikankut :Alat Musik Degung |
a. Bonang
Bonang, terdiri dari 14 penclon dalam ancaknya. Berderet mulai dari nada mi alit hingga nada La agend
b. Saron / Cempres / panerus
Saron/Cempres, terdiri dari 14 wilah. Berderet dari nada mi alit hingga dengan La rendah.c. Jeglong
Jengglong terdiri dari enam buah. Penempatannya ada yang digantung dan ada pula yang disimpan ibarat penempatan kenong pada gamelan pelog.
d. Suling
Suling, suling yang dipergunakan biasanya suling berlubang empat.e. Kendang
Kendang, terdiri dari satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Teknis pukulan kendang asalnya dipukul/ditakol dengan mempergunakan pemukul. Dalam perkembangannya kini kendang pada gamelan degung sama saja dengan kendang pada gamelan salendro-pelog.
f. Gong / Goong
Gong, pada mulanya hanya satu gong besar saja, kemudian kini menggunakan kempul, ibarat yang digunakan pada gamelan pelog-salendro.
Demikian Sobat Tradisi, perkenalan kita dengan kesenian degung dari Jawa Barat. Semoga artikel mengenai degung, pengertian, sejarah dan perkebangannya ini bisa memberi manfaat bagi Sobat tradisi yang ingin mengenal dan melestarikan kesenian tempat Indonesia khususnya kesenian degung dari tatar Sunda Jawa Barat.
Sampai jumpa pada artikel lainnya tetap di tradisikita.my.id
Referensi sumber artikel :
- https://jatinangor.itb.ac.id/gamelan-sunda-degung/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Degung#Gamelan_Degung
- http://sekarenggal.weebly.com/gamelan-degung.html
Advertisement